Monthly Archives: January 2012

di malam kesembilan puluh sembilan..

pada sebuah cerita, si tua alfredo dari “cinema paradiso” berkisah tentang prajurit-jaga yang jatuh cinta kepada putri raja. kala itu, perempuan itu merupakan makhluk tercantik yang pernah ditemui prajurit-jaga seumur hidupnya.

“tapi apalah arti seorang prajurit-jaga untuk memimpikan bersanding putri raja,” tutur alfredo kepada toto yang khusyuk mendengarkan.

toto memang tengah dimabuk cinta. di benak seorang remaja yang beranjak dewasa, bagi toto cinta adalah segalanya. harta, juga status tahta, apalagi realita, bukanlah sekat bagi insan yang terkena panah asmara.

begitu pula bagi seorang prajurit-jaga. hingga ketika datang suatu kesempatan, prajurit-jaga itu memberanikan diri menyatakan cinta.

terpesona dengan keteguhan (katakanlah) cinta prajurit-jaga, putri raja memberi kesempatan. sebuah syarat kemudian diajukan:

jika kamu bisa setia selama 100 hari dan 100 malam, menunggu di bawah balkon kamarku, di muara penantian aku akan sepenuhnya menjadi milikmu,” ucap putri raja.

sialnya, prajurit-jaga itu menyanggupi syarat yang diajukan putri raja.

satu malam…

sepuluh malam..

dua puluh malam..

pemandangan sama selalu dilihat putri raja: prajurit-jaga di bawah balkon kamarnya.

terkadang prajurit-jaga itu meringkuk karena dingin. terkadang prajurit-jaga itu terlihat berusaha mematung, ketika hujan, salju, bahkan sengatan tawon mencoba mengganggunya.

begitu gelapnya cinta menutup kesadaran prajurit-jaga.

tapi, di malam kesembilan puluh..

saat hujan dan peluh mungkin telah mengering, air mata mulai membasahi sudut mata prajurit-jaga.

dalam benaknya, prajurit itu terpikir untuk menyerah. tapi benak yang lain memintanya untuk bertahan.

bagaimana dengan hati? entah, apakah hati masih berfungsi bagi seorang pecinta yang mendamba akhir yang bahagia, kemudian ditampar realita, kemudian berharap lagi ada bahagia, dan ditampar lagi realita, dan terulang seperti itu, terus menerus.

hingga akhirnya,

di malam kesembilan puluh sembilan..

tiba-tiba prajurit-jaga itu lupa akan hal-hal yang membuatnya bertahan.

wajah cantik putri raja perlahan dianggapnya tak lagi istimewa. segala keindahan yang dibangun ilusinya juga perlahan terganti. hatinya kini seakan dipenuhi serakan guguran daun, yang menjadi penanda bahwa musim tak lagi bersemi, dan mulai meniupkan dingin yang tak ramah.

di malam kesembilan puluh sembilan..

prajurit-jaga itu pun beranjak pergi.

meninggalkan putri raja, yang menahan isaknya dalam sunyi.

mengetahui akhir cerita yang tak berujung bahagia, toto pun hanya mampu menyisakan tanya, mengapa?

“bagaimana pun, selama sembilan puluh sembilan malam, prajurit-jaga itu tinggal dalam tahanan ilusi, bahwa putri-raja menantinya di akhir penantian, menunggunya..” demikian benak toto, berusaha menerka.

***

epilog:

jika suatu saat kamu baca cerita ini, puan, dan masih mencari jawaban. anggap saja cerita si tua alfredo dari “cinema paradiso” ini sebagai jawaban.

anggap saja aku telah melewati sembilan puluh sembilan hari, dan sembilan puluh sembilan malam itu… menunggumu.

– bayu galih | januari, 2012


Bicara Tentang Setia

Ada sebuah puisi bagus yang ditulis oleh Wendoko, yang bercerita tentang kesetiaan. Puisi yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur (08)” itu, merupakan sebuah narasi tentang seorang murid yang bertanya kepada gurunya tentang kesetiaan. Bait pembuka puisi itu pun ditulis dengan sebuah ucapan manis sang murid:

Guru, ceritakan padaku tentang kesetiaan…

Selanjutnya, teruntai sebuah kisah yang diceritakan sang guru tentang seorang pengawal istana yang “mengungkapkan cintanya pada selir kaisar.” Jawaban sang selir:

…’Berdirilah di bawah jendela kamarku seratus hari dan seratus malam,
dan pada malam keseratus aku akan menjawabmu.’…

Mendengar jawaban selir tersebut, sang pengawal istana pun “berdiri dan berjaga di bawah jendela kekasihnya – di bawah kerindangan pohon yang-liu”. Selama beberapa hari, pengawal itu terus menunggu dengan sabar dan setia, mungkin karena ada harapan besar yang tersimpan di hatinya. Setiap malam, sang selir pun terkadang “mengintip lewat sekat-sekat jendela kamarnya, dan mendapati si pengawal di balik kabut yang membeku.” Ironis, ternyata kesetiaan bersifat antiklimaks. Karena kemudian:

“…Lalu, pada malam kesembilan puluh, pengawal kita ini / sudah begitu letih; mukanya pucat dan matanya berair. Ia memandang ke langit yang hitam, / cahaya bulan yang jatuh ke jendela kamar kekasihnya, dan bayang-bayangnya sendiri di atas / rumputan. Dan pada malam keseratus – satu jam sebelum waktu yang dijanjikan selir kaisar – / ia beranjak dari bawah pohon yang-liu…”

Entah apakah seuntai kisah yang diceritakan oleh sang guru, ketika muridnya bertanya tentang kesetiaan, bisa benar-benar mewakili arti setia. Dengan kata lain, setia (dengan imbuhan “ke – an” menjadi “kesetiaan”) yang diilustrasikan hanya merupakan keteguhan sikap awal, untuk kemudian berangsur berkurang, atau bahkan hilang sama sekali. Karena banyak hal yang bisa menggambarkan arti setia, seperti puisi seorang teman (Widyawati Oktavia, 2004) berikut ini:

mari belajar tentang setia
pada ranting-ranting yang menunggu pucuk tumbuh
ditunggunya sampai menghijau
jika pun akhirnya daun luruh
itu karena musim telah berganti

mari belajar tentang setia
pada rintik yang selalu temani gerimis
pada kelam yang selalu sertai malam
setia yang tidak pernah pertaruhkan janji

Setia yang digambarkan dalam “Mari Belajar Tentang Setia”, merupakan setia yang lebih bersifat alamiah, dan tidak dipaksakan oleh janji. Mungkin itulah yang mematahkan setia pengawal istana kepada selir: keterikatan pada suatu janji, yang memiliki syarat! Tidak seperti pengawal yang disyaratkan menunggu seratus hari dan seratus malam, ranting-ranting hanya menunggu pucuk hingga menghijau, tanpa terikat janji dalam hitungan waktu. Ranting-ranting pun sadar akan konsekuensi dari sebuah penantian, karena ia tahu bahwa kelak daun akan luruh ketika musim berganti, dan tidak lagi hijau menghiasi pucuk.

Begitu pula dengan rintik dan kelam, masing-masing akan terus setia menemani gerimis dan malam, tanpa janji akan sebuah kebersamaan. Sebuah metafora yang sangat manis: sebuah setia tanpa syarat, tanpa janji akan kepemilikan.

Namun perlu diingat, kedua puisi di atas memiliki sifat yang berbeda, bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. “Dongeng Sebelum Tidur (08)” merupakan refleksi atau hikmah atas arti sebuah kesetiaan, sedangkan “Mari Belajar Tentang Setia” merupakan proyeksi atau harapan ideal akan arti setia. Tapi tentu saja puisi bukan untuk dipertentangkan. Keduanya memiliki kesan yang dalam ketika saya membacanya: Kesan untuk kembali bertanya tentang arti kesetiaan, juga setia.

Tentu kesetiaan tidak sama dengan setia. Kesetiaan merupakan kata benda, sedangkan setia merupakan kata sifat, yang dapat juga menjadi kata kerja. Seperti wujud materialistis (kata benda) lain, mungkin akan terkesan wajar apabila kesetiaan memiliki syarat, karena ada unsur kepemilikan di dalamnya. Sedangkan setia, tidak setiap insan memiliki sifat setia, atau mau melakukan setia. Butuh ikhlas untuk dapat setia.

Karena setia merupakan fragmen dari absurditas manusia, perjalanan manusia dalam setia pun bisa dikatakan layaknya Sisifus. Ketika berada dalam ghiroh setia yang tinggi, bisa dikatakan kalau manusia sedang mendorong batu besar ke atas sebuah bukit. Mungkin setia berada dalam alam bawah-sadar manusia, karena ketika kenyataan menyentuh alam sadar, akan timbul pertanyaan: “Layakkah ini dilakukan?” Saat pertanyaan itu hadir, saat itulah batu besar itu menggelinding jatuh. Namun, tentu saja ghiroh setia itu kembali hadir, batu besar itu pun akan kembali didorong ke atas.

Tentu saja setia tidak selalu hadir dalam melankoli hubungan cinta manusia. Setia dapat hadir dalam cita-cita, ataupun idealisme yang dimiliki manusia. Saya sering bertanya-tanya, ketika Thomas Alfa Edison gagal dalam percobaannya yang ke 900, apakah ia pernah berpikir kalau ia dikutuk layaknya Sisifus? Tapi, seperti yang kita ketahui, ia akhirnya berhasil pada percobaan ke 1000. Terlihat bahwa setia terhadap cita-cita merupakan mantra pembebas kutukan Edison untuk menjadi Sisifus.

Setia terhadap idealisme, mungkin bisa juga disebut sebagai istiqomah. Rasulullah Muhammad menggambarkan istiqomah dalam kebenaran layaknya memegang bara panas di tangan. Tidak banyak manusia yang mampu melakukannya, sebagian besar lebih memilih untuk melepaskan bara tersebut. Dapat dikatakan, bahwa setia terhadap idealisme (istiqomah) memiliki konsekuensi: penderitaan.

Tentu tidak semua orang bersedia untuk memilih penderitaan, apalagi kalau masih ada kenikmatan yang dapat diperoleh. Tapi tidak untuk Ernesto Guevara. Setelah rezim Batista digulingkan, Ernesto sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kuba. Namun kemudian, Ernesto memilih untuk meletakkan jabatan karena panggilan hati-nuraninya: berjuang bersama para pejuang Bolivia. Ia memilih untuk istiqomah dalam melawan penindasan, dan bara panas pun kembali digenggamnya.

Bicara tentang setia (dalam ranah cinta, cita-cita, dan idealisme), tidak semudah dalam melaksanakan. Bagaimanapun, setia tidak dapat dikonstruksikan sebagai sesuatu yang berakhir indah, bahkan sering berakhir getir. Tidak perlu kematian Romeo-Juliet untuk mengajarkan kita akan setia. Setia adalah sebuah pilihan, apapun akhir yang mungkin terjadi. Sebuah keputusan yang diambil dengan pertimbangan hati dan nurani. Seperti yang digambarkan dalam bait berikut

mari belajar tentang setia
cukup duduk di sini
perlahan, diam-diam
dengarkan bisik hati

Jakarta, 8 Maret 2006